Jalan-jalan ke Gunung Cireme: Bagaimana Caranya Pulang? Jilid 1
Di akhir tahun 2008 entah 2009 saya pertama kali mendaki gunung
Ciremai bersama Cepong anak punk street itu. Dengan tanpa perencanaan yang
begitu matang, saya langsung ajak Cepong. “Pong hayu ah urang ka Cireme!”
sontak Cepong menjawab “Hayu Do”.
Nama saya di Mapala adalah Wardo. Seperti tradisi Mapala Bandung pada
umumnya, seusai diklat kami memiliki nama lapangan. Sekonyong-konyong nama
lapangan itu menggantikan nama resmi sehari-hari. Tak heran makanya antar
sesama anggota kadangkala tak saling tahu nama aslinya. Sedangkan Cepong
sendiri, di Mapala punya nama lapangan Tobus, tapi saya sendiri lebih senang
memanggilnya Cepong.
Waktu itu hasrat saya mendaki gunung begitu kuat, karena kecewa
melihat teman-teman mapala sekampus malah sibuk berorganisasi ria. Buat saya
waktu itu, yang namanya mapala kerjaannya mesti blusukan ke hutan, mendaki gunung, lewati lembah, bersua dengan
monyet, burung elang dan lain sebagainya di alam liar Indonesia yang indah ini.
Berorganisasi atau kuliah mah nomer
dua setelah kita bersyukur menghayati alam yang hijau nan indah ini. Begitu kira-kira
pikir saya waktu itu.
Maka saya pun berangkat dari rumah menuju kampus Cibiru. Kami berdua
bikin janji ketemuan di bunderan Cibiru. Cepong sudah menunggu di bunderan
Cibiru saya datang agak sedikit telat.
“nek damri weh, aya da nu ka kuningan”
Kami
pun naik Damri, waktu itu saya Cuma bawa uang 60 ribu sedangkan
Cepong 30 ribu. Kesannya saya punya banyak uang di rumah, sedangkan yang
dibawa
Cuma 60 ribu, bukan gitu maksud saya, waktu itu saya Cuma punya uang 60
ribu
tidak lebih dan Cepong Cuma punya 30 ribu. Singkat cerita kami pun
sampai di
kuningan, entah berapa ongkos damri pada waktu itu saya lupa lagi. Yang
jelas
waktu itu turun dari bis, saya dan Cepong naik angkot lagi. Setelah
dari angkot, saya dan Cepong kemudian naik ojeg ke kaki gunung Ciremai
jalur Palutungan.
Sampai di kaki gunung, sekitar pukul setengah enam sore.
Berhenti sejenak di pos registrasi untuk makan nasi timbel yang
dibungkuskan mamah buat saya. Kalau tidak salah mamah membungkuskan tiga paket
nasi timbel buat saya. Di pos registrasi, saya dan Cepong berhenti sejenak untuk
makan nasi timbel. Seusai itu kami pun langsung derengdeng mendaki. Pendakian malam pun kami lakoni, gak mikir
padahal waktu itu kami tak membawa peralatan buat malam hari seperti senter.
Beruntung waktu itu saya bawa hape nokia yang mirip blekberi sudah kwerty dan
ada lampu senternya.
Kami terus mendaki dengan satu-satunya senter hape yang ada.
Terpeleset saya di jalan berbatu tepatnya di pos pangguyangan badak, hape saya
ikut terpelanting, duwh padahal itu hape baru, buat ukuran saya itu hape
tercanggih yang pernah saya punya bayangkan waktu itu belum usum blekberi. Perasaan takut bercampur
sakit karena jatuh bercampur-campur. Pasalnya, saya melihat beberapa pasang
mata hewan yang menyala di sekeliling kami, Cepong pun tahu tapi kami pura-pura
saling tidak tahu.
Sebelum berangkat ke Ciremai tentu masing-masing dari kami cari
informasi yang dibutuhkan dari internet. Termasuk cari informasi hewan buas apa
saja yang hidup di hutan pegunungan Ciremai. Waktu itu kami menemukan ada dua
hewan buas yang ternyata hidup di pugunungan Ciremai, yaitu anjing ajag dan
macan (macan tutul dan macan kumbang). Kami kira beberapa pasang mata yang ada
di sekeliling kami adalah macan atau anjing ajag yang sedang memperhatikan
kami. Jantung saya berdegup kencang waktu itu antara takut dan rasa sakit
bercampur-campur, beruntung ada bintang indah di langit menyamarkan perasaan
tegang saya, saya pun mengusulkan untuk beristirahat pada Cepong, sambil
melihat bintang, lama-kelamaan perasaan tegang itu pun sirna berganti perasaan
nyaman dan tenang. Terima kasih Tuhan bisik saya dalam hati.
Sambil istirahat lantas Cepong mengusulkan untuk bikin kopi pake
trangia. Saya pun mengeluarkan trangia untuk memasak air sampai mendidih. Pas
dibuka ternyata bukan trangia yang saya dapat melainkan kompor kecil buat
parasmanan. Kompor kecil, bayangkan ternyata itu kompor kecil parasmanan. Saya
kira waktu itu, itulah yang disebut trangia. Ternyata bukan, air yang dimasak
pun tidak sampai hangat-hangat acan. Haha
Entah di pos berapa kami pun memutuskan untuk mendirikan tenda. Alasan
utamanya batre hape saya yang kami gunakan buat penerangan sudah habis.
Terpaksa kami mendirikan tenda. Kami pun tidur berdua di tenda berkapasitas
ideal tiga orang. Bangun sekitar pukul 8 pagi, langsung berkemas dan kami
melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung Ciremai. Tak memakan waktu lama,
pukul 10 kami sudah sampai di puncak. Jepret, jepret kami popotoan, kemudian
segera turun lagi.
Di gua walet kami tersesat. Terutama saya malah keukeuh melabrak terus turun ke lembahan. Perbekalan menipis, yang
tersisa Cuma air minum satu botol. Cepong segera sadar, mengingatkan saya untuk
kembali ke jalur awal pas kami belum turun ke lembahan. Akhirnya saya pun
sepakat untuk kembali ke jalur semula. Sesampainya di jalur semula kami baru
sadar kekeliruan kami, harusnya kami belok kiri tidak lurus terus melabrak
lembahan. Ah hampir saja kami tersesat.
Sekitar pukul 5 sore baru kami sampai di pemukiman, duit yang tersisa
tinggal 10 ribu. Sementara perut kami lapar, beruntung saya membawa 2 liter
beras, lantas kami berinisiatif tukar ini beras dengan makanan. Alhasil kami
pun bisa makan gorengan dari transaksi barter.
Bagaimana Caranya Pulang?
Sekarang persoalannya adalah bagaimana caranya sampai di rumah? Saya sms
Anin, akhirnya Anin susul kami ke Cirebon, ia sudah berada di Cirebon di rumah
salah satu teman kami bernama Memet. Memet sekarang sudah menikah dan punya
anak, entah cerita ini masih dia ingat atau sudah tidak. Terima kasih Memet
sudah menampung kami, memberi makan kami, dan mentraktir kami makan tahu gejrot
di Cirebon. Jujur itu kali pertama saya makan tahu gejrot.
Anin sudah di Cirebon sedangkan saya dan Cepong masih di kuningan, tepatnya
sedang menghitung uang kalau-kalau tidak cukup untuk sampai ke terminal
Cirebon. Karena ongkos ojeg dari kaki gunung Ciremai ke kota Kuningan begitu
mahal dan uang kami mana mungkin cukup buat bayar itu ojeg, akhirnya kami
memutuskan untuk cari tumpangan truk atau mobil kol buntung pengangkut sayuran.
Tak berapa lama akhirnya ada juga yang sudi kasih kami tumpangan (pengalaman saya
cari tumpangan kendaraan akan terulang lagi nanti seusai mendaki gunung
Sindoro, faktanya di daerah jawa, cari tumpangan tak semudah di sini). Kami
naik truk sayuran. Ah lega rasanya. Turun dari gunung membuat sayu serasa
terbarukan, raganya dan mentalnya. Pantas saja, sehari-hari bergelut dengan
asap knalpot dan riuhnya manusia kampus. Ditambah dengan angin gegelebugan yang kami rasakan di atas
truk pengangkut sayur ini membuat suasana makin segar dan lega.
Akhirnya kami sampai juga di kota Kuningan. Dari situ kami naik bis
metromini jurusan Cirebon. Perjalanan sekitar 1 jam sampai di terminal Cirebon.
Di terminal Cirebon, Memet sudah menunggu. Di sini walaupun malam, panas sekali
cuacanya. Selama dua hari; saya, Cepong dan Anin di tampung di rumah Memet. Di
sini, Memet ajak saya berkunjung ke pelabuhan Cirebon, Keraton Kasepuhan, dan
Keraton Kanoman.
Setelah mandi, bersih-bersih dan berkunjung ke tiga tempat tersebut.
Esensi pertanyaan dari jalan-jalan kami sesungguhnya masih tetap sama yaitu “bagaimana
caranya pulang?”. Parahnya kini setelah kami bertiga ada di Cirebon dan hendak
pulang, uang kami khususnya uang Anin tinggal 20 ribu. Dengan asumsi bahwa naik
kereta api ekonomi penuh dengan toleransi, biar pun Cuma punya uang 20 ribu
kami tetep bisa sampai rumah. Atas dasar itu, alhasil kami bertiga woles aja. Itu uang Anin, uang saya dan Cepong tadi tinggal 10 ribu sudah habis dipake bayar bis dari Kuningan ke Cirebon.
Kemudian kami pun pulang, berpamitan kepada Memet dan orang tuanya. “Terima
kasih Memet, sampai jumpa lagi”, teriak saya dalam hati. Rencananya, dari
Cirebon kami akan naik kereta api ekonomi jurusan Cikampek, dari Cikampek
kemudian baru ke Padalarang. Begitu rencananya.
Singkat cerita. Kami sampai di Cikampek malam-malam. Alhasil tidak
lagi ada kereta menuju Padalarang terpaksa kami menginap di warnet, modusnya
ngenet, padahal ikut tidur. Pagi-pagi baru ada kereta ke Padalarang. Di dalam
kereta, kami bertiga dililit kebingungan “bagaimana caranya uang 5 ribu yang
kami miliki sekarang bisa mengantar kami sampai rumah?”. Lantas kami mengatur
strategi. Strategi yang akan kami terapkan adalah strategi klasik, yaitu
sembunyi bila ada petugas karcis. Alhasil kami kejar-kejaran dengan petugas
karcis. Kami sadar strategi ini punya kelemahan, yaitu saat kami terpojok tak
ada lagi tempat lari. Plan B atau strategi B lantas kami selenggarakan, yaitu
pura-pura tidur, kami sadar strategi ini pun memiliki kelemahan yaitu petugas
pasti tahu kami sedang pura-pura tidur. Ternyata benar dua strategi yang kami
galakan gagal total, akhirnya kami kena pentungan petugas. Beruntung petugasnya
masih terbilang baik, kami masih diperkenankan mendiami ini kereta, itu pun
setelah kami berbohong pada petugas, bahwasannya kami akan turun di Purwakarta.
Alhamdulillah akhirnya kami sampai juga di Padalarang. Dua teman saya;
Cepong dan Anin memutuskan untuk tidak turun di Padalarang melainkan turun di
stasiun Bandung. Akhirnya saya kasih uang saya yang ada di adik saya yang sudah
menunggu di stasiun Padalarang ke mereka berdua. “Selamat jalan teman,
mudah-mudahan selamat sampai tujuan”, teriak saya dalam hati.
Huftttt.......Semoga Anin
Cepat-cepat kembali ke jalan yang benar mengingat sekarang ini dia jadi kacau !
Selamat Mendaki ! Mudah-mudahan Tulisan ini Menginspirasi
Sumber : http://blogoga.blogspot.com/2013/06/jalan-jalan-ke-gunung-cireme-bagaimana_3308.html?spref=fb