Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawabagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.
Asal Usul
Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung
digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur
Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern,
sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan
Nusantara.
Catatan mengenai angklung baru muncul
merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti
angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan
sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan
mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi
Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa
masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali
penanaman padi.
Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup
sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi.
Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai
alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi
temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang
berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di
antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai
pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu
sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat
membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada
waktu itu.[rujukan?]
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari
batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat
musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat
pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada
penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi
sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian
tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan
pangan) dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang
dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara
lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat
menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras
pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung
kepada banyak orang dari berbagai komunitas.
Jenis Angklung
Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering
menyebut mereka orang Baduy)
digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata
untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka
menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang
hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy
Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar).
Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap
mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare
(mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu,
selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh
dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung
dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun
(menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya
diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil
menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan,Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug
ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran.
Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu
yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal
ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan
berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal
kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk
keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang
terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik,
torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh
seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan
ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung
Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik,
hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo,
hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung
adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung,
yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang
bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya
di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang
terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran
membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.
Angklung Dogdog Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di
masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, danLebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog
lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga
digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali,
setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di
pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot
(sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat
ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang
teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat
dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak).
Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan
pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa
dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang
sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu
digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan
lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah
dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai
nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan
inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam
orang.
Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa
vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.
Angklung Gubrag
Angklung gubrag terdapat di kampung
Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan
digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi),
ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).
Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada
ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.
Angklung Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang
menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama.
Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu
berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga
badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk
acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk
dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar
abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar
agama Islam ke kerajaan Demak.
Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu
sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan
buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung
bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1
kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam
perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia.
Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut
keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan
pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.
Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh.
Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang
bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada
mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan
padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini
berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang
mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap
sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak
itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu
tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari
rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis,
dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual,
tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya
digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan
sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut terdapat dalam
kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian
buncis adalah 2 angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2
angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1
talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah
dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan
lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya:
Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum.
Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan
penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk
menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa
Barat (Angklung) di atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan
angklung, yang terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung),
Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis),
Angklung Bungko (Indramayu),
Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi),
Angklung Badeng (Malangbong,
Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional
dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas
Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang
bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil
pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara
orkestra besar.
Angklung Padaeng
Angklung padaeng adalah angklung yang
dikenalkan oleh Daeng Soetigna sejak sekitar tahun 1938. Terobosan pada
angklung padaeng adalah digunakannya laras nada Diatonik yang sesuai dengan sistem musik barat. Dengan demikian, angklung kini dapat
memainkan lagu-lagu internasional, dan juga dapat bermain dalam Ensembel dengan alat musik internasional lainnya.
Sesuai dengan Teori musik,
angklung padaeng secara khusus dibuat menjadi dua jenis besar yakni:
·
Angklung Melodi, adalah angklung yang secara fisik
terdiri atas dua tabung suara dengan beda nada 1 oktaf. Pada satu unit
angklung, umumnya ada:
·
Angklung melodi kecil, terdiri atas 31 angklung.
·
Angklung melodi besar, atau disebut juga bass-party, terdiri atas 11
angklung.
·
Angklung akompanimen, adalah angklung yang digunakan sebagai pengiring
untuk memainkan nada-nada Harmoni. Tabung
suaranya ada 3 atau 4, sesuai dengan Akord diatonis. Suatu unit
angklung standar biasanya memiliki:
·
Angklung akompanimen mayor sekaligus akord dominan septim, terdiri atas 12
buah angklung
·
Angklung akompanimen minor, terdiri atas 12 buah angklung
Pak Daeng menggunakan angklung ciptaannya
untuk melatih anak-anak pandu (pramuka jaman dulu). Tidak heran kalau lagu-lagu
yang dimainkan mereka saat itu umumnya lagu wajib. Beberapa peninggalan aransemen asli Daeng
Soetigna misalnya "Satu Nusa Satu Bangsa", "Ibu Kita
Kartini", atau "Wajib Belajar". Sekitar tahun 1980-an, KPA SMA 3
Bandung berdiri dengan perintis muda seperti Djoko, Budi Supardiman, dan Asep
Suhada. Mereka mulai mengaranseman angklung padaeng untuk musik-musik modern
Indonesia seperti "September Ceria" (Vina Panduwinata),
"Astaga" (Ruth
Sahanaya) dan "Gemilang" (Krakatau (grup musik)), bahkan merambah ke musik
manca negara mulai dari "Yesterday" (Beatles),
"Another Day in Paradise" (Phil Collins),
hingga "Bohemian Rhapsody" (Queen).
Angklung Sarinande
Angklung sarinande adalah istilah untuk
angklung padaeng yang hanya memakai nada bulat saja (tanpa nada kromatis)
dengan nada dasar C. Unit kecil angklung sarinade berisi 8 angklung (nada Do
sampai Do Tinggi), sementara sarinade plus berisi 13 angklung (nada sol rendah
hingga mi tinggi).
Angklung Toel
Angklung toel diciptakan oleh Kang Yayan
Udjo sekitar tahun 2008. Pada alat ini, ada rangka setinggi pinggang dengan beberapa angklung
dijejer dengan posisi terbalik dan diberi karet. Untuk memainkannya, seorang
pemain cukup men-toel angklung tersebut, dan angklung akan bergetar beberapa
saat karena adanya karet.
Angklung Sri-Murni
Angklung ini merupakan gagasan Eko Mursito
Budi yang khusus diciptakan untuk keperluan robot angklung. Sesuai namanya, satu angklung ini memakai dua atau lebih tabung suara yang
nadanya sama, sehingga akan menghasilkan nada murni (mono-tonal). Ini berbeda
dengan angklung padaeng yang multi-tonal. Dengan ide sederhana ini, robot
dengan mudah memainkan kombinasi beberapa angklung secara simultan untuk
menirukan efek angklung melodi maupun angklung akompanimen.
Agar lebih kaya suaranya, angklung
sebaiknya dimainkan dengan alat musik lain membentuk ensembel. Beberapa
ensembel angklung yang sudah mapan adalah:
Klasik Padaeng
Ensemble angklung klasik yang dikenalkan
oleh Pak Daeng Soetigna terdiri atas:
·
Angklung melodi
·
Angklung akompanimen
·
Bas betot
Kombinasi minimal inilah yang paling
populer dan umum dijumpai saat konser maupun lomba paduan angklung.
Angklung Solo
Angklung solo adalah konfigurasi dimana
satu unit angklung melodi digantung pada suatu palang sehingga bisa dimainkan
satu orang saja. Sesuai dengan konvensi nada diatonis, maka ada dua jajaran
gantungan angklung, yang bawah berisi nada penuh, sedangkan yang atas berisi
nada kromatis. Angklung Solo ini digagas oleh Yoes Roesadi tahun 1964, dan
dimainkan bersama alat musik basanova dalam group yang menamakan diri Aruba
(Alunan Rumpun Bambu). Sekitar tahun 1969, nama Aruba ini disesuaikan menjadi
Arumba
Arumba
Arumba adalah istilah bagi seperangkat
alat musik (ensemble) yang minimal terdiri atas:
·
Satu unit angklung melodi, digantung sehingga bisa dimainkan oleh satu
orang
·
Satu unit bass lodong, juga dijejer agar bisa dimainkan satu orang
·
Gambang bambu melodi
·
Gambang bambu akompanimen
·
Gendang
Konfigurasi awal ensemble tersebut
diperkenalkan oleh Mochamad Burhan sekitar tahun 1966, yang menggunakannya
bersama grup "Arumba Cirebon" .
Teknik Permainan
Angklung
Memainkan sebuah angklung sangat mudah.
Seseorang tinggal memegang rangkanya pada salah satu tangan (biasanya tangan
kiri) sehingga angklung tergantung bebas, sementara tangan lainnya (biasanya
tangan kanan) menggoyangnya hingga berbunyi. Dalam hal ini, ada tiga teknik
dasar menggoyang angklung:
·
Kurulung (getar), merupakan
teknik paling umum dipakai, dimana tangan kanan memegang tabung dasar dan
menggetarkan ke kiri-kanan berkali-kali selama nada ingin dimainkan.
·
Centok (sentak), adalah teknik
dimana tabung dasar ditarik dengan cepat oleh jari ke telapak tangan kanan,
sehingga angklung akan berbunyi sekali saja (stacato).
·
Tengkep, mirip seperti kurulung namun salah satu
tabug ditahan tidak ikut bergetar. Pada angklung melodi, teknik ini menyebabkan
angklung mengeluarka nada murni (satu nada melodi saja, tidak dua seperti
biasanya). Sementara itu pada angklung akompanimen mayor, teknik ini digunakan
untuk memainkan akord mayor (3 nada), sebab bila tidak ditengkep yang
termainkan adalah akord dominan septim (4 nada).
Sementara itu untuk memainkan satu unit
angklung guna membawakan suatu lagu, akan diperlukan banyak pemusik yang
dipimpin oleh seorang konduktor. Pada setiap pemusik akan dibagikan satu hingga
empat angklung dengan nada berbeda-beda. Kemudian sang konduktor akan
menyiapkan partitur lagu, dengan tulisan untaian nada-nada yang harus
dimainkan. Konduktor akan memberi aba-aba, dan masing-masing pemusik harus
memainkan angklungnya dengan tepat sesuai nada dan lama ketukan yang diminta
konduktor. Dalam memainkan lagu ini para pemain juga harus memperhatikan teknik sinambung, yaitu nada yang sedang berbunyi hanya boleh dihentikan segera setelah
nada berikutnya mulai berbunyi.
Angklung akan terdengar merdu dan megah
jika dimainkan beramai-ramai dengan kompak. Untuk itu, diperlukan persiapan dan
latihan yang cukup panjang, dipimpin pelatih yang cukup punya pemahaman musik
umum maupun angklung. Tahap-tahap persiapannya adalah:
1. Pilih lagu dengan
aransemennya. Lagu yang cocok dimainkan dengan angklung umumnya yang berirama
riang, dan jika bisa ada bagian yang rancak, sehingga bisa diimprovisasi dengan
teknik centok. Lagu ini kemudian perlu diaransemen khusus untuk angklung,
dengan memiliki beberapa suara. Untuk latihan, aransemen ini kemudian ditulis
di kertas yang besar (biasanya dalam notasi not angka).
2. Siapkan unit angklung
sesuai aransemen. Dari aransemen angklung, bisa diketahui berapa angklung yang
diperlukan berdasar rentang nada lagu dan keseimbangan intonasinya.
3. Kumpulkan pemain dan
distribusikan angklung kepada mereka. Jika ada pemain yang memegang banyak
angklung, harus diperhatikan agar si pemain tersebut tidak akan pernah
memainkan dua angklung pada saat bersamaan. Untuk itu biasanya dipakai tabel tonjur.
4. Pemanasan. Sebelum
berlatih, sebaiknya lemaskan dulu kaki dan tangan, lalu lakukan gerakan-gerakan
dasar untuk kurulung maupun centok bersama-sama.
5. Mempelajari lagu.
Bersama-sama, pelajari dan telusuri alur lagu, mana bait-bait dan chorus yang
harus diulang. Perlahan-lahan mainkan lagu ini dibawah pimpinan konduktor.
Disarankan agar selama latihan awal semua nada di-centok saja, jangan
dikurulung dulu.
6. Menghafal not.
Perlahan-lahan para pemain diminta menghafal not-not lagu dan bagian
permainannya.
7. Meningkatkan teknik. Ini
tahap polesan akhir, dimana konduktor bisa mulai memimpin dengan menekankan
keserempakan permainan, dinamika, maupun penjiwaan.
8. Koreografi. Jika akan
tampil dipentas, bisa mulai dipikirkan improvisasi agar para pemain melakukan
gerakan yang menarik, tidak berdiri kaku terus menerus.
Angklung interaktif adalah kegiatan dimana
seorang konduktor mengajak banyak orang, yang umumnya awam, untuk bermain
angklung beramai-ramai . Kegiatan ini bisa
dilakukan di tempat pariwisata atau acara ramah tamah. Pada para peserta akan
dibagikan angklung-angklung yang sudah diberi nomor sesuai nadanya. Lalu, sang
konduktor akan memimpin, biasanya dengan cara:
1. Konduktor membuka satu
layar besar bertuliskan lagu dalam not angka, lalu mengajak para peserta
memainkan angklung yang tepat dengan menunjuk nada pada layar.
2. Konduktor mengajarkan
isyarat tangan untuk nada-nada tertentu pada penonton, kemudian memimpin suatu
lagu dengan memberikan isyarat yang tepat secara berurutan untuk diikuti para
peserta.
Ide menggunakan isyarat tangan untuk
berlatih angklung ini sudah muncul sejak jaman Pak Daeng Soetigna. Mang Udjo
kemudian memperkenalkan isyarat lain yang lebih mudah dipahami, dan
mempopulerkannya melalui berbagai pertunjukan.
Secara esensial, angklung adalah alat
musik bambu yang dimainkan dengan digetar. Hal tersebut tidak boleh diubah.
Meski demikian, berbagai upaya kreatif untuk memodernisasinya terus
berlangsung, seperti:
·
Angklung elektrik karya Agus Suhardiman
·
Angklung otomatis, Tugas akhir Kadek Kertayasa di STIKOM Surabaya
·
Tra-digi, angklung robot yang dikontrol oleh i-pod, ciptaan Hasim Ghozali.
·
Klungbot, robot angklung yang mula-mula dikreasi oleh Krisna Diastama dan
Karismanto Rahmadika , kemudian dilanjutkan
oleh Eko Mursito Budi.